Menurut pasal 24 UUD 1945, kekuasaan
kehakiman adalah merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan
Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Menurut Pasal 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kakuasaan Kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Menurut Pasal 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kakuasaan Kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Kekuasaan kehakiman yang integral dan terpadu dapat dimulai dengan dilakukannya restrukturisasi atau “penataan kembali” bangunan sistem hukum pidana Indonesia yang bebas dan mandiri.
Berbicara mengenai penataan kembali sistem hukum untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang integral, bebas dan mandiri maka ada tiga hal pokok yang menjadi fokus pembicaraan antara lain substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
Pertama; Substansi hukum. Permasalahan yang dialami dari segi substansi hukum/pengaturan hukum adalah lembaga kepolisian dan kejaksaan tidak disebutkan secara tegas dan jelas dalam konstitusi bahwa kedua lembaga tersebut masuk dalam kekuasaan yudisial tetapi hanya disebutkan dalam Pasal 24 ayat 3 UUD NRI 1945 bahwa Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Rumusan pasal ini mengandung multi tafsir apakah kepolisian dan kejaksaan masuk dalam kategori badan-badan lain yang menjalankan kekuasaan kehakiman atau tidak. Dilihat dari sub fungsi polisi sebagai penyidik dan sub fungsi kejaksaan sebagai penuntut dan/atau penyidik maka dapat dikatakan bahwa kedua institusi tersebut masuk dalam lingkaran kekuasaan yudisial/kehakiman.
Kalau demikian maka seyogyanya kepolisian dan kejaksaan harus berada di luar kekuasaan eksekutif agar tidak bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 1. Tetapi permasalahannya adalah apakah tugas kepolisian dan kejaksaan hanya melakukan penyidikan dan penuntutan?
Tentunya tugas kedua institusi tersebut tidak hanya sebatas itu sehingga terasa amat sulit kepolisian dan kejaksaan berada di luar eksekutif walaupun di sisi lain menjalankan fungsi menegakkan hukum yang merupakan bagian dari fungsi kekuasaan kehakiman. Solusi terhadap permasalahan tersebut adalah membentuk Badan Penyidik dan Badan Penuntut yang bersifat independen.
Badan-badan tersebut berada di luar kepolisian dan kejaksaan walaupun keanggotaanya berasal dari institusi-institusi tersebut tetapi tidak bertanggung jawab kepada kapolri maupun kepada kejaksaan agung tetapi benar-benar independen dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Kedua; Struktur hukum merupakan penggerak/motor dari substansi hukum karena substansi tidak mungkin berjalan tanpa struktur hukum. Keduanya saling mengisi dan saling mendukung. Substansi tanpa struktur maka akan mati dan struktur tanpa substansi akan kacau.
Substansi hukum yang baik tetapi dijalankan oleh struktur hukum yang buruk maka akan buruk tetapi substansi hukum yang buruk tetapi dijalankan oleh struktur yang baik maka akan baik tetapi akan lebih baik kalau substansi dan strukturnya sama-sama baik tetapi sangatlah sulit untuk menemukan kedua-duanya hadir bersamaan. Di sini diharapkan bangsa ini memiliki struktur hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat, pegawai LP) yang berintegritas, bertanggung jawab, transparan, bermoral, berilmu dan beriman serta memiliki masyarakat yang sadar hukum maka sudah pasti keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan tercapai.
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri dapat dimaknai dari dua sudut pandang yaitu pertama; bebas dan mandiri dari kekuasaan eksekutif/pemerintah dan politik dan hal ini perlu diatur dalam substansi hukum agar benar-benar ada kemandirian kekuasaan kehakiman yang utuh dan holistik dalam arti kemandirian keseluruhan sistem peradilan pidana yaitu kekuasaan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili, kekuasaan pelaksanaan pidana dan kekuasaan pemberian bantuan hukum.
Hal ini sebagai bentuk pencerminan Indonesia sebagai negara hukum. Dari keseluruhan sistem peradilan pidana tersebut kekuasaan penyidikan yang berada di bawah komando kepolisian dan kekuasaan penuntutan yang berada di bawah komando kejaksaan masih berada di bawah bayang-bayang pemerintah sehingga belum tercipta sistem peradilan pidana terpadu yang bebas dan mandiri.
Kedua; bebas dan mandiri dari keinginan suap, jual beli pasal, jual beli putusan, favoritisme (pilih kasih)/tebang pilih dan berbagai praktek mafia hukum dan mafia peradilan lainnya merupakan penghalang terbesar dalam menciptakan kemandiran kekuasaan kehakiman karena aparat penegak hukum diikat oleh praktek-praktek mafia tersebut sehingga putusan pengadilan yang dihasilkan tidak/kurang berkeadilan sosial.
W. Clifford mengemukakan bahwa meningkatnya kejahatan telah cukup untuk menarik perhatian pada tidak efisiennya struktur peradilan pidana yang sekarang ada sebagai suatu mekanisme pencegahan kejahatan.
Hal yang sama dikemukakan pula oleh Johannes Andenaes bahwa semakin tinggi dan meningkatnya angka rata-rata kejahatan, merupakan bukti kegagalan atau ketidakmampuan (impotensi) sistem yang ada sekarang (Ibid). Melihat kondisi ini maka perlu ada pengawas independen yang secara khusus mengawasi setiap sub sistem peradilan pidana agar benar-benar bebas dari berbagai praktek mafia tersebut.
Ketiga; Kultur/budaya hukum merupakan perwujudan dari sistem nilai-nilai budaya hukum meliputi masalah kesadaran hukum, perilaku hukum, pendidikan hukum dan ilmu. Kultur/budaya hukum adalah roh/jiwa yang menghidupi struktur hukum dalam melaksanakan substansi hukum.
Diharapkan perilaku hukum dari struktur hukum mencirikan budaya hukum Indonesia yaitu budaya hukum Pancasila karena Pancasila merupakan jiwa/roh/kepribadian bangsa Indonesia.
Dan, pada dasarnya substansi hukum dibuat dengan ilmu hukum, dengan demikian penegakannya pula harus menggunakan ilmu hukum. Melupakan ilmu hukum dalam menerapkan hukum akan menyebabkan struktur hukum memahami substansi hukum tersebut secara parsial (sepotong-sepotong) sehingga keadilan yang dicapai bukan keadilan materiel tetapi sekedar keadilan prosedural.
Kesatuan Sistem Hukum
Masalah penegakan hukum di Indonesia terlihat dari belum terintegrasinya ketiga sistem hukum tersebut yaitu substansi hukum, struktrur hukum dan budaya hukum. Adanya disharmonisasi perundang-undangan, belum terintegrasinya sistem peradilan pidana secara holistik yang bebas dan mandiri menjadi sinyal/potret buram sistem hukum Indonesia.
Tentang budaya hukum Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa budaya suap/budaya amplop, budaya jalan pintas, budaya kaca mata kuda/budaya coffee-extract tentunya tidak sesuai dengan budaya keilmuan dan dapat menghambat/merendahkan/menghancurkan kualitas penegakan hukum (Barda, tanpa tahun:41).
Agar sistem hukum nasional benar-benar terarah untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan pembangunan yang berkelanjutan (ibid) maka perlu adanya kesatuan sistem hukum yang memadai dalam masing-masing sistem dan adanya pengawasan independen yang berkualitas dan berintegritas dalam rangka menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri “Demi Keadilan Sosial berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
0 Coment